Ini buntut dari habis mengikuti ticket war kemarin, istilah untuk para pejuang tiket, agar dapat beli tiket tepat 1 detik pemesanan tiket dibuka. Ticket war, perang tiket, bukan perang tiket konser artis manapun, kemarin itu adalah perang tiket untuk mendapatkan tiket Kereta Api rute Jakarta-Surabaya PP, dimasa tanggal favorit, dimasa arus mudik dan balik lebaran. Tentu sudah terbayang serunya. Saya dan istri sudah pasang alarm 20 menit menjelang tengah malam, karena pukul 00:01 tiket sudah dibuka, secara online, melalui aplikasi di handphone. Tidak cukup satu, semua Handphone anak-anak dirumah pun kami instal aplikasinya, agar sama-sama akses aplikasi, agar kemungkinan mendapatkan slotnya pun lebih besar. Maklum, kami beli tiket untuk ber-7, bukan sendiri, tentunya harus menyesuaikan juga tempat duduknya agar tidak terlalu berpencar.
Penggunaan banyak handphone itupun kami lakukan setelah kami gagal mendapatkan tiket dimalam pertama bergadang itu, hanya menggunakan satu handphone, setelah mengisi data penumpang, saat melanjutkan pesanan, aplikasi loading terus, lalu time out, kepedean. Syukur dimalam berikutnya lancar, salah satu dari handphone kami mendapatkan slot tiket, meskipun posisi tempat duduk tidak berkumpul layaknya satu keluarga yang sedang traveling, setidaknya kami masih berdekatan, berdua-duaan. Hanya satu yang nyempil satu memang, karena ber-7, paling juga nanti saya yang akan menempati nomor tempat duduk yang sendiri itu, dengan orang lain yang tidak dikenal sebelumnya tentunya. Memang unik jaman online ini, tiketnya pun cukup dikirim melalui aplikasinya. Kalau hilang, masih ada backup dikirim ke email masing-masing user. Tidak seperti jaman dulu, tiket jadul berupa selembar kertas, yang gak boleh hilang, bahkan untuk tiket ekonomi jarak pendek, hanya selembar karton seukuran kartu domino.
Anak-anak yang masih anak-anak di era 90-an pasti paham. Mengoleksi tiket kereta api saat itu bener-bener keren, sebuah kebanggaan. Karena memang untuk mendapatkannya perlu perjuangan.
Biasanya, saat turun distasiun tujuan, tiket akan diminta petugas di pintu keluar. Maka kalau ingin mengoleksi tiket, solusi satu-satunya saat itu ya jangan keluar lewat pintu keluar. Bapak saya selalu paham, setiap hendak tiba di stasiun tujuan, beliau selalu menawarkan, tiketnya mau disimpan atau tidak? sambil senyum penuh arti. Tentu saja sebenarnya bapak tahu kalau jawabannya saya pasti mau. Saya cuman bisa mengangguk. Maka seketika kereta api telah berhenti sempurna, kami pun turun. Alih-alih keluar dari stasiun, kami berjalan kekanan atau kekiri stasiun, menyusuri rel kereta api, sampai diujung pagar stasiun, biasanya langsung bertemu dengan jalan raya. Langsung tinggal cegat angkot yang lewat atau panggil tukang becak, tiket pun aman dibawa kerumah. Jadi koleksi.
Selain terasa betul wujud tiketnya, menyimpan tiket jadul itu juga ada kenangannya. Yakni tanda lubang dari alat pelubang pak Kondektur yang secara berkala mengecek kepemilikan tiket seluruh penumpang. Mondar-mandir, dari satu gerbong ke gerbong berikutnya, terlebih setiap baru menaikkan penumpang. Tidak tahu pasti setiap berapa kali pemberhentian pak kondektur memeriksa, lalu melubangi, sebagai tanda sudah lulus cek. Itu yang membuat tiket jadul itu berlubang. Dan berlubangnya itu khas. Khas tiket jadul.